REKTOR UMMat, MEMPER_TUHAN_KAN_UANG
Ilustrasi: uang dikepala rektor |
semarntb.com-Apakah benar kampus Ummat adalah kampus yang bernuansa Islamik dan seluruh pejabatnya memperTuhankan Allah SWT, sekalipun mereka tampak seperti hamba yang taat beribadah? Tidak, kampus ummat lebih tepatnya adalah pasar yang dikelola oleh orang-orang yang memperTuhankan Uang dengan berselubung moralitas.!!!!
sudah sering terdengar jika kata-kata "kalau tidak punya uang jangan kuliah di UMMat" keluar dari mulut petinggi kampus. Kata-kata ini menunjukkan betapa kejam dan bengisnya pengelolaan lembaga pendidikan tinggi berdasarkan logika pasar dengan memperTuhankan UANG, yakni mengganti setiap hubungan manusia dengan hubungan transaksi tunai yang kejam dan tak lagi mengenal batas kemanusiaan.
Hubungan peserta didik dengan pendidik di kampus UMMAT dihancurkan oleh Rektor UMMat dengan hubungan transaksi tunai. Sejak Abd. Wahab mengambil alih kepemimpinan di kampus Ummat, kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan mengarah pada penghancuran hubungan peserta didik dengan pendidik sebagai hubungan transformasi ilmu pengetahuan, menjadi hubungan transaksi tunai yang kejam dalam mengejar laba.
Satu-satunya yang ada di kepala Abd. Wahab adalah memupuk keuntungan sebesar-besarnya, sehingga tidak heran kebijakan cuti paksa pada 1.600 mahasiswa awal semester genap tahun 2023 menunjukan sisi kelam kampus Ummat dibawah kepemimpinan Abd wahab yang tak lagi peduli dengan keadaan ekonomi mahasiswanya sendiri.
Kenaikan biaya pendidikan yang sekarang mencapai Rp. 5,5 juta persemester dan didukung dengan kebijakan "cuti paksa" yang mencekik leher orang tua mahasiswa menjadikan kampus Ummat sebagai salah satu kampus swasta termahal yang ada di NTB.
Akibat mahalnya biaya pendidikan dan penekanan kepada mahasiswa untuk segera membayar lunas SPP menyebabkan munculnya berbagai persoalan yang menampar kampus UMMAT, yakni Mulai dari kasus maraknya mahasiswa yang open BO, kemudian mahasiswa yang membayar SPP lewat jalur gelap adalah bukti nyata akan kepemimpinan Abd wahab justru melahirkan malapetaka bagi kampus Ummat.
Pergeseran nilai-nilai pendidikan semakin kuat di kampus ummat, bahkan bea siswa bidik Missi pun diembat oleh pihak kampus dengan memotong bea siswa bidik Missi sebesar 8 Rp. Juta/orang untuk biaya pendidikan, padahal dalam peraturan KIP, kampus hanya bisa memotong bea siswa bidik Missi sesuai SK Rektor tentang Biaya SPP mahasiswa. Pada tahun 2023, untuk FKIP, biaya SPP hanya Rp. 4 juta, namun pihak kampus memotong bea siswa bidik Missi untuk mahasiswa FKIP sebesar Rp. 8 juta, ini merupakan perampokan secara terang-terangan yang dilakukan pihak kampus terhadap hak mahasiswa yang didapat dari negara.
Di sisi lain besarnya biaya SPP dan kebijakan cuti paksa menindas mahasiswa-mahasiswi lemah, UMMat tidak mengangkat kesejahteraan tenaga pendidik dan pegawai rendahan, bahkan UMMat tidak mendorong perbaikan fasilitas dan layanan terhadap kemahasiswaan, dan gaji dosen/karyawan sempat ditunda selama 2 bulan. Lalu kemana uang mahasiswa diperuntukan, apakah semata-mata untuk mengejar keuntungan dan memperkaya segelintir elit kampus Ummat?
Dari carut marutnya kampus ummat dan besarnya biaya kuliah yang dikeluarkan orang tua mahasiswa yang kemudian tidak diimbangi transparansi pengelolaan keuangan kampus, menyebabkan alokasi biaya pendidikan tidak jelas peruntukkannya dan hanya memperkaya segelintir elit kampus. Contoh kecilnya, ditengah banyaknya mahasiswa yang dicuti karena tidak mampu membayar SPP, rektor Ummat justru membeli mobil dinas baru yang cukup mahal, Rp. 700 san juta, padahal ada banyak tenaga pendidik/dosen yang digaji sangat rendah, bahkan keamanan kampus mendapat gaji jauh dibawah UMK kota Mataram.. sangat irasional, mana kala kampus sebagai lembaga pendidikan justru sangat tidak manusiawi, bahkan kasus slip SPP justru dimanfaatkan oleh pihak kampus untuk terus memeras mahasiswa ditengah kondisi ekonomi orang tua mahasiswa masih fluktuatif akibat krisis.
Terkait kasus SLIP SPP yang diduga palsu, pihak birokrasi kampus tergesa-gesa menyimpulkan, bahwa 248 mahasiswa merupakan pelaku pemalsuan dan menetapkan standar ganda, yakni mahasiswa dipaksa membayar ulang SPP dan juga mendapat sanksi ancaman DO dan skorsing. Tuduhan serius dan fitnah yang kejam buru-buru dilontarkan oleh pihak kampus untuk menutupi kesalahan birokrasi sendiri terkait proses validasi, sekelas lembaga pendidikan tinggi yang dikelola oleh orang-orang dengan baground doktor dan master saja masih bisa kecolongan terkait data penting akademik, lalu pantas kah mahasiswa disalahkan?
Kesalahan dan kebodohan pihak kampus itu sendirilah sehingga kasus slip SPP bisa terjadi terus menerus selama bertahun-tahun, atau memang ini adalah salah satu pembiaran yang sengaja diciptakan untuk memberi keuntungan bagi segelintir elit kampus? Tampaknya memang demikian adanya, sebab terkait slip SPP, pihak kampus sendiri tak menginginkan kasus ini diusut dengan tuntas, dan bahkan jajaran petinggi kampus sengaja membangun opini dengan menyudutkan mahasiswanya sendiri dalam hal ini, berdasarkan konstruksi hukum bisa dikatakan sebagai korban.
UMMat kampus anti demokrasi
Ketika kampus menyimpan banyak persoalan dan jajaran pejabat tinggi kampus banyak terjerat dalam persoalan, maka sudah menjadi hal yang lumrah, jika kampus sangat anti demokrasi dan jajaran pejabatnya sangat anti kritik. Untuk menutupi praktek busuk jajaran pejabat kampus, ruang demokrasi semakin dipersempit, seperti halnya kegiatan kemahasiswaan terus dibatasi, dan akhir-akhir ini, seluruh sekretariat UKM dipaksa agar segera dikosongkan. Tidak hanya itu, beberapa mahasiswa FKIP yang terlibat dalam demontrasi di kampus, oleh dekannya diberi Surat Peringatan. Belum lagi tindakan represifitas yang dilakukan oleh keamanan kampus.
Untuk melanggengkan praktek inkonstitusi yang dilakukan oleh pejabat tinggi kampus, pihak kampus menggiring opini terkait slip SPP, bahwa 248 mahasiswa adalah pelaku yang diilhami oleh seluruh anggota BEM dan IMM. Maka tidak heran jika keberadaan IMM, BEM Univ dan BEM fakultas hanya bertindak untuk meneruskan fitnah dan tuduhan palsu yang dilakukan oleh kampus dengan mendiskreditkan 248 mahasiswa. Terkait dengan SE rektor nomor 96 / ll. 3.AU / KEP / D / lV / 2023. tanggal 10 April, IMM dan BEM justru membenarkan pihak rektorat terkait sanksi DO dan skorsing ratusan mahasiswa tersebut. Padahal yang memberi makan organisasi internal kampus ini adalah mahasiswa Ummat lewat IURAN IOMA yang dibayarkan persemester, lalu kenapa organisasi yang punya power dan legitimasi di kampus justru membela kepentingan pejabat tinggi kampus ketimbang membela mahasiswa yang selama ini memberi makan organisasinya?
Apalagi alasan yang membuat kita terdiam?
#Serikat mahasiswa dan rakyat NTB
#rektor UMMat mempertuhan uang
Komentar
Posting Komentar